KEBIJAKAN FISKAL NEGARA INDONESIA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM


                KEBIJAKAN FISKAL NEGARA INDONESIA
                  DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
 Oleh : ABDUL ROTIP
Email: abdulrotip.12@gmail.com
Abstrak : Kebijakan fiskal adalah langkah-langkah pemerintah untuk mengelola pengeluaran dan perpajakan atau penggunaan instru men-instrumen fiskal untuk mempengaruhi bekerjanya sistem ekonomi agar memaksimumkan kesejahteraan ekonomi  dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Apabila kebijakan fiskal telah dirumuskan dalam Islam, persoalannya kemudian adalah apakah rumusan itu dapat ditafsirkan kembali sesuai dengan kondisi daerah dan masa, mengingat kebijakan fiskal merupakan masalah kenegaraan yang terbuka terhadap ijtihad.
 
Pendahuluan
Latar Belakang

Kebijakan fiskal diartikan tindakan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah, yang berkaitan dengan pendapat dan pengeluaran uang . Yang dimaksud di sini menyangkut pengelolaan penerimaan dan pengeluaran negara yang dilakukan oleh pemerintah suatu negara. Kebijakan fiskal Negara Indonesia tercermin dalam Anggaran Pendapat Belanja Negara (APBN). Dalam APBN tersebut, terdapat penetapan pemerintah mengenai alokasi dan distribusi keuangan negara. Mengingat urgennya bidang ini dalam pembangunan perekonomian negara, APBN harus mendapat persetujuan dari dewan Perwakilan Rakyat sebagai penjelmaan rakyat. Selain itu, DepartemenKeuangan Negara Indonesia sebagai instansi negara yang mengelola persoalan keuangan memainkan peranan penting dalam kebijakan fiskal. 
Di negara Islam, pengelolaan keuangan negara ditangani oleh Bayt al-mal. Bayt al-Mal sama dengan kementerian keuangan (treasury) yang menangani masalah keuangan serta hal-hal yang berkaitan dengan perbendaharaan negara (national excheguer). Sekalipun Bayt al-mal secara institusional telah dibentuk oleh khalifah „Umar ibnu Khattab. Kebijakan fiskal negara, sebenarnya telah diberlakukan pada masa Nabi SAW. Al-Quran dan as-Sunnah sering menyinggung kebijakan fiskal negara. Antara lain: pengelolaan zakat oleh negara, pemungutan al-jizyah dari kaum ahl-kitab, pemberlakuan hukum al-fay‟ dan al-ghanimah, serta kebijakan Nabi SAW atas kepemilikan umum.  
Apabila kebijakan fiskal telah dirumuskan dalam Islam, persoalannya kemudian adalah apakah rumusan itu dapat ditafsirkan kembali sesuai dengan kondisi daerah dan masa, mengingat kebijakan fiskal merupakan masalah kenegaraan yang terbuka terhadap ijtihad ? Jika reinterpretasi itu dimungkinkan, persoalan berikutnya adalah apakah asas kebijakan fiskal yang ditetapkan oleh pemerintah Negara Indonesia selama ini memiliki kesamaan dengan asas kebijakan fiskal dalam Islam ? Lalu, bagaimanakah bentuk penafsiran kebijakan fiskal dalam Islam yang sesuai dengan konteks keindonesiaan ? 
Jawaban atas pertanyaan di atas akan dipaparkan dalam makalah ini. Di samping itu, tulisan ini ditujukan untuk mencari legitimasi Islam atas kebijakan fiskal yang ditetapkan pemerintah Negara Indonesia. Agar pembahasan tidak melebar, negara Islam akan dibatasi pada masa Nabi SAW dan al-Khulafa‟al- Rasyidin karena pada masa ini ajaran Islam masih belum terkontaminasi oleh budaya lain. Adapun pemerintah Negara Indonesia hanya difokuskan pada pemerintahan yang stabil ekonomi (Orde Baru), karena pada masa ini perekonomian Indonesia lebih stabil dibanding masa sebelum atau sesudahnya.
Tinjauan Pustakan
Kebijakan fiskal adalah langkah-langkah pemerintah untuk mengelola pengeluaran dan perpajakan atau penggunaan instru men-instrumen fiskal untuk mempengaruhi bekerjanya sistem ekonomi agar memaksimumkan kesejahteraan ekonomi (Madjid, Kemenkeu RI 2012). Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara , yang menyebutkan bahwa presiden memberikan kuasa pengelolaan keuangan dan kekayaan negara kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam pemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.
Ekonomi Islam adalah Sebuah Cabang Ilmu Pengetahuan Sosial yang mempelajari mengenai masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diangkat dari nilai-nilai islam. Muhammad Abdul Manan mengatakan bahwa Ekonomi Islam merupakan bagian dari suatu tata kehidupan lengkap yang didasarkan pada empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu Al-quran, sunnah, ijma’ dan qiyas. Ekonomi Islam saat ini menjadi sebuah ilmu yang sedang dipelajari atau sedang banyak diminati. Ilmu yang didasarkan pada ajaran – ajaran Islam, khususnya di Bidang Ekonomi, mempermudah manusia dalam melakukan kegiatan – kegiatan ekonomi. Ekonomi Islam tentu memiliki “takaran” atau ukuran yang pas yang menguntungkan mereka yang melakukan kegiatan ekonomi. 
Penelitian Terkait
M. Aditya Ananda “Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Teungku Dirundeng Meulaboh” , Sistem Ekonomi Islam. Hasil Penelitian “Ekonomi Islam merupakan suatu sistem (doktrin) karena ia memiliki nilai dan tujuan tidak semata mata mengungkap realitas yang ada. Penemuan atau pengembangan ekonomi Islam berbeda dengan sistem lainnya (kapitalis atau
sosialis) karena kedua sistem tersebut telah melalui proses sejarah yang panjang dan sampai saat ini dalam proses pengembangan dari doktrin intinya. Sedangkan ekonomi Islam merupakan pecahan puzle yang berserakan, untuk menemukan ekonomi Islam (doktrin), pecahan yang berserakan seperti hokum perdata, dll divoba untuk ditemukan esensinya hingga melahirkan doktrin ekonomi Islam.” 
Refrensi dari penelitian terkait 
1. Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, terj. Potan Arif Harahap, Ed. 1, (Jakarta: Intermasa, 1992)
2. Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011)
3. Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi: Mikroekonomi dan Makroekonomi, ed ketiga, (Jakarta Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2008)
Metodologi
   Penelitian ini adalah sebuah kebijakan fiskal yang di tetapkan oleh pemerintah agar pembahasan tidak melebar, Dan penelitian ini di ambil dari ketetapan menteri keuangan republik Indonesia untuk menjadikan Indonesia lebih maju dalam mengembangkan ekonomi Indonesia. 



Pembahasan

Kebijakan Fiskal dalam Perspektif Ekonomi Islam 
1. Kebijakan Fiskal Negara Indonesia
 
Sistem kebijakan fiskal Negara Indonesia telah dinyatakan dalam Undang-Undang dasar 1945 pasal 23: 1. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan oleh pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu; 2. Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang; 3. Macam-macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang; 4. Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang; 5. Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan rakyat. UUD 1945 di atas memberikan amanat kepada pemerintah agar senantiasa membuat kebijakan fiskal setahun sekali yang diformasikan dalam APBN. Untuk itu, kebijakan fiskal Negara Indonesia mengikuti asas berkala. Di samping itu, kebijakan fiskal juga menganut asas terbuka dan fleksibel. Terbuka karena melibatkan DPR sebagai wakil rakyat, dan fleksibel sebagaimana tercermin dalam ketentuan “Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu”. APBN berasal dari Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) yang telah disetujui oleh DPR. RAPBN tersebut dibuat oleh Menteri Keuangan bersama ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pappenas).
APBN mencakup penerimaan dan pengeluaran negara. Penerimaan negara terdiri dari penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan. Penerimaan dalam negeri terbagi juga atas penerimaan dari minyak bumi dan gas alam (migas) dan penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam seperti penerimaan pajak, baik langsung maupun tidak langsung, dan penerimaan bukan pajak. Suparmoko menyebutkan sembilan sumber penerimaan negara antara lain: pajak, restribusi, keuntungan dari berbagai perusahaan negara, denda dan perampasan yang dijalankan pemerintah, sumbangan masyarakatuntuk berbagai jasa diberikan oleh pemerintah, percetakan uang kertas, hasil dari undian negara, pinjaman dari luar negeri maupun dalam negeri dan hibah.
Upaya pengklasifikasian penerimaan migas dan nonmigas menunjukkan adanya ketergantungan keuangan negara pada kekayaan alam: padahal, kekayaan alam itu terbatas dan dapat habis. Ketergantungan berisiko tinggi, terutama jika ada tekanan atas harga minyak tanah dari dunia internasional. Peristiwa tersebut pernah dialami oleh pemerintah Indonesia (orde baru) sehingga memaksa dilakukannya deregulasi perpajakan. Untuk itu, pemerintah harus menggalakkan sumber penerimaan di luar migas.
Pajak atau pungutan lain yang diterima oleh pemerintah harus didasarkan pada Undang-Undang. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dari pihak pemerintah. Selain berfungsi sebagai alat anggaran, pajak juga digunakan sebagai alat untuk mengatur dan mengawasi kegiatan-kegiatan swasta dalam perekonomian, Penting pula dicatat bahwa pemungutan pajak di Indonesia menggunakan sistem self-assesment, yaitu masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan sepenuhnya untuk menghitung, membayar dan melapor sendiri pajak yang terhitung.
Asas keadilan dan pemerataan dalam pemungutan pajak dapat ditunjukkan oleh sistem progresif terhadap pajak penghasilan sehingga semakin besar penghasilan wajib pajak, semakin besar pula pajak yang dikenakan. Hal itu ditenggarai oleh dua sebab. Pertama, administrasi perpajakan masih terbuka terhadap praktik tawar-menawar sehingga cukup banyak orang yang berhasil menghindari pajak, terutama golongan berpendapatan tinggi. Kedua, kebijakan pemerintah lebih melindungi golongan berpendapatan tinggi. Oleh karena itu, sering terjadi pemungutan pajak atas pendapat karyawan, bukan pendapatan milik perusahaan.
Pemungutan pajak juga mengenal penghasilan bebas (tidak terkena) pajak serta pengecualian dalam pajak. Hal itu berarti terdapat kriteria tertentu yang dikenakan pajak dan tidak dikenakan pajak. Harta yang menjadi milik negara atau milik umum tidak dikenai pajak Sementara itu, pengeluaran negara dalam APBN terdari dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin mencakup belanja pegawai, belanja barang, subsidi, bunga dan cicilan hutang serta pengeluaran rutin lainnya. Demikian pula pengeluaran pembangunan diarahkan untuk pembiayaan dan bantuan proyek. Seluruh jenis pengeluaran tersebut, jika dinilai dari sisi fungsinya, dapat diklasifikasi menjadi lima macam. Pertama, pengeluaran yang self-liquiditing, sebagian atau seluruhnya. Artinya, pengeluaran pemerintah mendapatkan pembayaran kembali dari masyarakat yang menerima jasa atau barang yang bersangkutan, misalnya pengeluaran untuk perusahaan negara atau proyek-proyek produktif barang ekspor. Kedua, pengeluaran yang produktif.
Artinya, pengeluaran yang dilakukan dengan mewujudkan keuntungan ekonomis bagi masyarakat. Sehingga, secara tidak langsung, dapat meningkatkan jumlah pajak, misalnya pengeluaran untuk pertanian, pendidikan, dan sebagainya. Ketiga, pengeluaran yang langsung menambah kegembiraan dan kesejahteraan masyarakat, misalnya pengeluaran untuk bidang pariwisata dan penanggulangan bencana. Keempat, pengeluaran yang merupakan pemborosan, misalnya pengeluaran untuk biaya perang. Kelima, pengeluaran yang merupakan penghematan di masa mendatang, misalnya pengeluaran untuk membuka lapangan kerja.
Secara yuridis, pengeluaran negara harus diarahkan untuk tujuan negara. Tujuan negara Indonesia termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alenia keempat. Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan demikian, prioritas distribusi keuangan negara harus diarahkan kepada bidang ekonomi, pertahanan dan keamanan, pendidikan, dan politik dalam negeri maupun luar negeri.
2. Kebijakan Fiskal Negara Islam 
Ketika Nabi SAW berhasil membangun sebuah negara di Madinah, nash al-Quran dan as-Sunnah mulai menyinggung kebijakan fiskal. Ada tujuh sumber penerimaan negara pada masa Nabi SAW. Pertama, zakat yang dipungut dari umat Islam yang mampu. kemampuan diukur menurut takaran harta yang wajib dizakatkan (nisab). Kedua, al-ghanimah, yaitu harta yang didapat dari rampasan perang sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Anfal : 1 yang artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: “Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu” (QS. Al- Anfal :1)
Tradisi rampasan pada masa klasik masih dibenarkan di samping karena belum adanya kesepakatan dunia internasional, juga masih mengentalnya tradisi kesukuan.6 Ketiga, al-fay‟, yaitu harta yang diambil dari orang-orang nonmuslim tanpa kekerasan atau peperangan, bahkan dengan perdamaian dan perjanjian sesuai dengan surat al-Hashr: 6 yang artinya : Dan apa saja harta rampasan (fa‟I) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Hasyr: 6)
Pengertian al-fay‟ ini mencakup tiga sumber penerimaan negara, yaitu al-jizyah, al-kharraj dan al-ashur.7 Al-Jizyah telah diberlakukan sejak masa Nabi SAW, sementara kedua sumber yang terakhir mulai diberlakukan sejak kekhalifahan Umar ibnu al-Khattab. Keempat, al-jizyah, yaitu pungutan yang dikenakan atas umat ahl al-Kitab yang mampu.
Sesuai dengan surat al-Taubah: 29 yang artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.(QS. At-Taubah: 29). Kelima, harta wakaf yaitu harta yang berasal dari umat Islam yang digunakan untuk kepentingan umum semata-mata karena Allah.9 Keenam, harta sedekah dari umat Islam (al-Baqarah: 177). Jenis harta ini sering digunakan Nabi SAW ketika nash kebijakan fiskal di atas belum diturunkan. Ketujuh, hutang dari umat Islam.
Sumber-sumber penerimaan di atas berlangsung hingga kekhalifahan Abu Bakar al-Sidiq. Administrasi pengelolaannyapun masih sederhana, yakni harta yang baru diterima langsung didistribusikan . Jalur distribusinya pun juga telah ditentukan oleh syariah sehinga pemerintah tidak melakukan ijtihad kecuali ijtihad interpretatif, menafsirkan nash tersebut sesuai dengan kebijakannya. Harta zakat didistribusikan kepada delapan jalur: orang-orng fakir, orang-orang miskin, para pengelola zakat, kaum mu‟allaf, para budak, orang-orang yang berhutang, para pejuang di jalan Allah dan para musafir (al-Taubah: 60). Seperempat bagian harta al-ghanimah diprioritaskan untuk militer, sementara seperlimanya untuk jalur berikut: Allah, Rasul Allah SAW, para kerabatnya, orang-orang miskin, anak-anak yatim dan para musafir (al-Anfal:41). Begitu pula jalur distribusi harta al-fay‟, sama dengan al-ghanimah. Hanya saja, tentara tidak mendapat bagian dari al-fay‟.
Menurut penulis, seluruh distribusi harta negara di atas pada dasarnya hanya digunakan untuk kepentingan umum dan negara dengan memprioritaskan pada masyarakat yang lemah. Jalur untuk Allah dapat diartikan untuk agama Allah. Jalur untuk Nabi SAW. Dan kerabatnya telah berhenti seiring denga wafatnya Nabi SAW. dan kerabatnya. Bagian untuk orang-orang miskin, anak-anak yatim dan para musafir menunjukkan distribusi harta negara untuk kesejahteraan, sedangkan bagian untuk para tentara merupakan distribusi untuk pertahanan dan keamanan negara. Hal yang sama dapat ditunjukkan oleh delapan jalur distribusi harta zakat di atas.
Ketika umat Islam mampu menaklukan kerajaan Persia dan Romawi pada khalifah Umar, mereka memperoleh harta rampasan perang yang melimpah. Kenyataan itu mendorong Umar untuk membentuk perbendaharaan Negara yang disebut Bayt al-Mal. Dalam Bayt al-Mal tersebut, jumlah tunjangan rakyat yang dianggarkan setiap tahun. Penentuan jumlah tunjangan tersebut didasarkan pada loyalitas rakyat kepada Islam. Kebijakan ini berbeda dengan Nabi SAW dan khalifah Abu Bakar.
Di samping tunjangan atau subsidi, Bayt al-mal juga menyediakan dana untuk mencukupi kebutuhan para pegawai negara dan tentara. Sejak pemerintahan Umar pula, tentara tidak lagi memiliki harta rampasan perang yang tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Meski begitu, harta tetap menjadi hak pemiliknya dengan dibebani pembayaran pajak al-kharraj. Pengeluaran untuk proyek pembangunan juga digalakkan, terutama menyangkut sarana kepentingan umum. Dalam hal ini, Abul Khoir Mohd. Jalaludin mengemukakan lima bidang distribusi keuangan negara Islam. Pertama, menjaga keamanan baik internal maupun eksternal. Kedua, pembiayaan administrasi negara. Ketiga, mempertahankan tingkat kehidupan pokok masyarakat. Keempat, meningkatkan infrastruktur negara. Kelima, membantu para korban bencana alam.
Selain Bayt al-Mal, khalifah Umar juga memungut pajak al-Kharraj dan pajak al-„Ashur. Al-Kharraj merupakan pajak yang dipungut atas tanah yang dikerjakan, sementara al-„Ashur dikenakan atas barang dagangan yang masuk ke negara Islam. Kedua pungutan tersebut dikenakan atas muslim maupun non muslim serta menghindari pungutan berganda atas umat muslim yang telah membayar zakat perdagangan.
4. Kebijakan Fiskal Negara Indonesia; Perspektif Ekonomi Islam 
Kebijakan Fiskal Negara Indonesia tidak didasarkan pada hukum agama melainkan pada peraturan perundang-undangan. Pancasila dan UUD 1945 merupakan landasan idiil dan konstitusionil bagi peraturan perundang-undangan lainnya. Walaupun demikian Pancasila dan UUD 1945 masih mengakui eksistensi agama yang berarti pula hukum agama. Oleh karena itu, kebijakan fiskal yang bertentangan dengan tujuan hukum agama berarti tidak sesuai dengan kehendak Pancasila dan UUD 1945. Sementara itu, ekonomi Islam merupakan bagian hukum agama yang mengatur segala kebutuhan masyarakat. Keterlibatan masyarakat ini, menjadikan ekonomi Islam tidak selalu tergantung pada nash secara tekstual, namun memberikan peluang ijtihad lebih besar, serta tidak melibatkan iman dan niat. Sekalipun demikian, ekonomi Islam harus dalam koridor “menghilangkan bahaya dan menarik kemaslahatan” (dar‟ al- mafasid wa jalb al-masalih) sebagai tujuan agama. 
Atas dasar itu, semua pungutan yang ditetapkan dengan Undang-undang, dan menjadi penerimaan negara masih dibenarkan syariah. Bahkan Nabi SAW. Memberi amanat kepada pemerintah untuk memungut harta selain zakat. Dalam hal ini, khalifah Umar memberlakukan pajak al-ashur yang tidak pernah ditunjukkan oleh al-Quran maupun Sunnah. Taqy al-Din al-Nabhani menyimpulkan bahwa pemerintah diperbolehkan mengenakan pungutan tambahan selama kebutuhan rakyat belum terpenuhi oleh negara.11 Tujuan pemungutan pajak oleh pemerintah Negara Indonesia tidak berbeda dengan tujuan pemungutan pajak dalam negara Islam. Di samping sebagai penerimaan negara, pemungutan pajak juga dimaksudkan untk meratakan pendapatan penduduk. Nabi SAW bersabda: “zakat dipungut dari orang-orang kaya untuk orang-orang fakir”. Di sini penulis, menyamakan tujuan zakat dengan pajak karena keduanya bersifat progresif, yakni pemungutan dikenakan atas penghasilan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, masyarakat ekonomi lemah tidak dipungut pajak atau zakat, bahkan mereka akan mendapatkan bagian dari zakat atau pajak tersebut.
Selain pajak, sumber penerimaan yang terbesar bagi Negara Indonesia adalah penjualan minyak bumi dan gas alam (migas). Minyak adalah termasuk kebutuhan pokok masyarakat. Oleh karena itu, minyak tidak boleh dikuasai swasta, melainkan harus menjadi milik negara. Hal itu telah ditegaskan oleh UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3. 
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal di atas dijelaskan oleh pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 yang menyatakan hak penguasaan negara meliputi: pertama, mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; kedua, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; ketiga, menetukan dan mengatur hubungan-hubungan bumi, air dan ruang angkasa.
Atas dasar itu, negara berhak mengelola serta memelihara sumber daya alam yang menjadi hajat hidup masyarakat, sekaligus dapat memungut retribusi atas masyarakat yang menggunakannya. Apabila sumber daya alam itu memiliki nilai produktif, negara diharuskan membelanjakannnya untuk kepentingan umum. Kebijakan seperti itu pernah dilakukan khalifah Umar atas tanah Sawad di Irak. Hasilnya adalah negara diuntungkan dengan penerimaan sekitar seratus juta dirham. Penguasaan tersebut sejalan dengan kebijaksanaan Nabi SAW. Yang pernah memberikan tambang kepada Abyad ibn. Hamal. Lalu, ia menarik kembali tambang itu setelah ada laporan bahwa tambang tersebut potensi dan hasilnya sangat melimpah bagaikan air yang mengalir. Hadis tersebut dapat menjadi dasar atas kebijakan pemerintah Negara Indonesia berkenaan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kebijakan fiskal lain yang patut disorot adalah hutang luar negeri dan undian negara. Kedua kebijakan ini tidak pernah dilakukan oleh pemerintah Islam pada masa nabi saw dan khulafa‟ al-rashidin. Kebutuhan negara pada masa klasik dapat dipenuhi dengan melakukan ekspansi atas negara lain. Ekspansi ini tidak dapat dilakukan oleh pemerintah Negara Indonesia mengingat negara Negara Indonesia terikat oleh hukum internasional. Oleh karena itu, jalan keluarnya adalah mencari pinjaman dari luar negeri; padahal pinjaman tersebut memberi bunga yang tidak sedikit. Di kalangan ahli hukum Islam, bunga pinjaman tersebut hingga kini masih diperdebatkan.
Berbeda dengan pinjaman luar negeri, undian negara secara yuridis dan sosiologis tidak dapat diterima oleh masyarakat karena dianggap sebagai perjudian. Untuk itu, penerimaan negara melalui undian dianggap ini tidak berlangsung lama. Dengan demikian, undian sebagai penerimaan negara harus ditolak karena banyak mengandung bahaya sehingga bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam hal pengeluaran keuangan negara, tidak ada perbedaan yang signifikan antara negara dan Negara Indonesia. Sekalipun kebijakan fiskal Negara Indonesia didasarkan pada ijtihad semata, orientasi pengeluaran negara diarahkan untuk kemakmuran negara. Kemakmuran negara tersebut mencakup dua sasaran pokok, keamanan dan kesejahteraan rakyat. Kedua sasaran tersebut telah diamanatkan oleh UUD 1945 kepada pemerintah Negara Indonesia atau al-Quran kepada pemerintahan Islam. Dengan demikian, stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi mutlak harus dikedepankan oleh setiap negara.
                                                
 
KESIMPULAN
 
Sebagai bagian bagian dari wacana mu‟amalah, kebijakan fiskal dalam Islam bersifat lentur dan terbuka terhadap ijtihad. Nash-nash terkait dengan kebijakan fiskal tidak terlepas dari keadaan sosio-historis masyarakat Islam awal. Penafsirannya harus menggunakan pendekatan kontekstual. Arah dan tujuan kebijakan fiskal yang dinyatakan oleh nash harus menjadi parameter atas kebijakan fiskal setiap negara meskipun model dan mekanismenya berbeda.
Dengan rumusan di atas, penulis menemukan titik persamaan asas dan tujuan kebijakan fiskal Negara Indfonesia. Bahkan, beberapa jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah merupakan reformulasi pajak yang diterapkan pada masa awal Islam. Dengan demikian, sistem kebijakan fiskal Negara Indonesia selama ini masih dalam koridor syari‟ah. Hanya saja, implementasi sistem tersebut masih jauh dari yang diharapkan, jika tidak dikatakan bertolak belakang.
Jika terdapat banyak titik persamaan, pemerintah dapat menerapkan kebijakan fiskal negara Islam selama hal itu sesuai dengan hukum dan budaya Indonesia. Dalam hal ini, penulis mengajukan gagasan perlu diterimanya zakat sebagai sumber penerimaan negara. Lembaga yang berwenang mengelolanya adalah Departeman Keuangan Negara Indonesia karena kewenangan tersebut menyangkut upaya disatukannya pajak dan zakat.
                                DAFTAR PUSTAKA 

Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. II, Semarang : Toha Putera, 1981. 
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah, Beirut: Dar al- Fikr, t.t. 
Al-Nabhani, Taqy al-Din, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, ter. M. Maghfur Wachid, Surabaya: Risalah Gusti, 1996. 
Al-Naim, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari‟ah, (terj. Ahmad Suedy dan Amiruddin Arrani), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994. 
Arnold, Thomas W., The Preaching of Islam, Delhi: Low Price Publications, 1995. 
Bigha, Mustofa Diibul, Fiqih Syafii, Tkp: CV. Bintang Pelajar, t.t. 
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta : Djemabatan, 1996. 
Engineer, Asghar Ali, Asal Usul dan Perkembangan Islam, terj. Imam Baehaqi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. 
Mannan M.Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995. 
Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta: Andi Offset, 1991. 
Permono, Sjechul Hadi, “Pendayagunaan dan Pengelolaan Zakat Dalam Kaitannya Dengan UU No. 38 Tahun 1999”, yang disampaikan dalam Temu Ilmiah Program Pascasarjana IAIN Se-Indonesia pada tanggal 10 – 12 Nopember 2001.
Suparmoko, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: BPFE, 1992. 
Syamsi, Ibnu, Dasar-dasar Kebijaksanan Keuangan Negara, Jakarta: Bina Aksara,

Comments

Popular posts from this blog

Islam dan politik etis masa kolonial

Kamu punya hati ?

ANALISIS PENDISTRIBUSIAN ZAKAT FITRAH MENURUT IMAM SYAFI’I