ANALISIS PENDISTRIBUSIAN ZAKAT FITRAH MENURUT IMAM SYAFI’I

 

PAPER

ANALISIS PENDISTRIBUSIAN ZAKAT FITRAH

MENURUT IMAM SYAFI’I

 

 



 

Disusun oleh :

Nam   :Abdul rotip

NIM   :2017330020

 

Universitas Muhammadiyah jakarta

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

2018/2019

 

 

Kata pengantar

Puji syukur Alhamdulillah “Ilahi Robbi” Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat serta maunahNya, sehingga kita dapat merealisasikan aktivitas yang sudah menjadi rutinitas sehari-hari, serta dapat memberikan kekuatan bagi penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Sholawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita yang menjadirevolusioner dunia yakni nabi Muhammad SAW. Karena berkat beliaulah, kita dapat merasakan indahnya dunia dengan adanya iman dan islam seperti yang kita rasakan, dan juga kepada keluarga beserta kerabat-kerabatnya, pengikut-pengikutnya yang setia hingga akhir zaman, dan semoga kita termasuk pada golongan yang akan mendapat syafaatnya dihari akhir nanti amin.

1.      Saya ucapkan banyak terimah kasih kepada  ibu dyarini selaku dosen pembimbing

2.      Kepada kedua orang tua dan saudaraku yang telah memberikan support sehingga sampai pada detik ini.

Semoga dengan selesainya makalah ini bisa bermanfaat bagi semua kalangan. Khususnya, pembaca dalam mengarungi kehidupan ini, sehingga menjadi manusia yang berbakti pada Agama, Nusa dan Bangsa. 

Kritik dan saran selalu kami nantikan, baik dari pembaca yang budiman, karena kami hanyalah manusia biasa yang tidak pernah lepas dari kesalahan dan dosa.

                                                           

                                                                                    Jakarta,   Januari 2019

 

                                                                                    ABDUL ROTIP

                                                                                    2017330020

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

            Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin yang didalamnya memandang persoalan social sebagai hal yang memiliki tempat tersendiri, dimana dalam pengelolaan harta Islam memperhatikan lingkungan, dibuktikan dengan adanya zakat sebagai rukun Islam, yang secara substansi menggambarkan kepedulian bagi sesama. Zakat dalam Islam bukan saja sebagai sarana ibadah dan bukan bagian dari rukun Islam semata melainkan sebagai urat nadi yang menopang kehidupan individu maupun kelompok, karena memiliki dimensi soisal dan ekonomi. Zakat menurut bahasa adalah nama’ yang berarti kesuburan, taharah : kesucian, barakah : keberkahan dan berarti juga tazkiyah / tathir yang artinya mensucikan.

            Zakat menurut syariat adalah sejumlah harta yang diwajibkan Allah SWT diambil dari harta orang tertentu, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan syarat tertentu. Sedangkan esensi zakat adalah pengelolaan sejumlah harta yang diambil dari orang yang wajib membayar zakat “muzakki” untuk diberikan kepada mereka yang berhak menerima zakat “mustahik”. Pengelolaanmeliputi kegiatan pengumpulan (penghimpunan), penyaluran, pendayaguanaan, pengawasan dan pertanggungjawaban harta zakat.

            Zakat merupakan salah satu rukun Islam, tidak hanya wajib bagi Nabi tetapi juga bagi seluruh umat tentang wajib zakat yang telah ditegaskan oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang jelas dan tegas, selain dalam Al Qur’an terdapat perintah tentang wajib zakat dalam sunnah Nabi maupun kesepakatan ulama atau juga disebut sebagai ijma’. Didalam Al- Qur’an, zakat disebut secra langsung sesudah shalat dalam delapan puluh dua ayat. Ini menunjukkan betapa pentingnya zakat, sebagaimana sholat.

            Zakat sendiri adalah salah satu diantara rukun Islam yang lima, setingkat dengan shalat, puasa dan haji. Tidak kurang pada delapan puluh dua tempat dalam Al Qur’an menyebutkan perintah menunaikan zakat dirangkaikan dengan perintah menegakkan shalat. Seperti pada surat At-Taubah ayat 11

:فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ ۗ وَنُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Artinya : Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah 

  saudara-saudaramu seagama. Dan kami menjelaskan ayat ayat itu bagi kaum yang mengetahui.

            Hal senada juga dikemukakan oleh Ali Yafie bahwa untuk menggambarkan betapa pentingnya kedudukan zakat, Al Qur’an menyebutkan sampai tujuh puluh dua kali dimana kata “itta’u zakah” selalu bergandengan dengan kata “iqama al shalat”, seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 43, surat al-Maidah ayat 55, surat al-Mu’minin ayat 4 dan lain sebagainya. Artinya zakat sama pentingnya dengan shalat, sebagai mana keterangan dalam ayat tersebut.

            Zakat merupakan ibadah dan kewajiban bidang harta benda dalam rangka mencapai kesejahteraan ekonomi dan mewujudkan keadilan sosial. Zakat juga merupakan sarana atau tali yang kuat dalam mengikat hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan dan hubungan horizontal antara manusia dengan sesama manusia, khususnya antara yang kaya dengan yang miskin, dan memberikan keuntungan moril maupun materil, baik dari pihak penerima “mustahik” maupun dari pihak yang memberi “muzzaki” .

            Hakikat zakat bukanlah pemberian yang diberikan oleh orang kaya kepada orang fakir namun zakat adalah hak yang dititipkan Allah SWT kepada orang kaya agar ia berikan kepada orang yang berhak menerimanya. Dengan tujuan zakat dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan fakir, menutup kefakiran orang-orang lemah, mencukupi orang-orang sengsara, mencegah mereka dari kelaparan, dan menghilangkan rasa ketakutan mereka.

            Zakat merupakan sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah SWT untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya “mustahik” dengan syarat-syarat tertentu. Tujuannya untuk mewujudkan pemerataan keadilan dalam ekonomi. Sebagai salah satu aset lembaga ekonomi Islam, zakat merupakan sumber dana potensial strategis bagi upaya pembangunan kesejahteraan umat.

            Al Qur’an memberi rambu agar zakat yang dihimpun disalurkan kepada mustahik atau orang yang berhak menerima zakat. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat at-Taubah ayat 60 :

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

 

Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orangorang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Secara umum zakat terbagi menjadi dua macam yaitu zakat mal atau harta dan zakat fitrah atau nafs. Zakat mal ialah zakat yang dikenakan atas harta yang dimiliki oleh seseorang atau lembaga dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Adapun jenis harta yang wajib dizakati antara lain : emas, perak, hasil tanaman, buah-buahan, barang-barang perdagangan, binatang ternak, barang tambang dan barang temuan atau harta karun. Dan syarat orang yang mengeluarkan zakat mal ialah Islam, merdeka, milik sempurna, cukup satu nisab (batas minimal), mencapai satu tahun “al-haul” untuk beberapa jenis zakat. Sedangkan zakat Fitrah yaitu zakat yang diwajibkan kepada individu yang beragama Islam yang berhubungan dengan berakhirnya bulan Ramadhan. Tujuan dari zakat Fitrah diantaranya adalah mensucikan jiwa dan mencukupi kebutuhan fakir dan miskin. Zakat fitrah berbeda dengan zakat maal dalam berbagai segi. Zakat fitrah lebih mengacu pada orang, sedangkan zakat mal lebih mengacu kepada harta. Zakat fitrah merupakan zakat yang diwajibkan atas diri setiap muslim yang memiliki syarat-syarat yang ditetapkan dan ditunaikan pada bulan Ramadhan sampai menjelang waktu shalat sunah Idul Fitri yang bertujuan mensucikan diri dari ucapan kotor dan perbuatan yang tidak berguna, dan memberi makan orang-orang miskin untuk mencukupi kebutuhan mereka pada hari raya Idul Fitri.

            Zakat mal dan zakat fitrah tidak menghilangkan fungsinya sebagai sarana ibadah dan juga meiliki fungsi sosial ekonomi agar terwujudnya keadilan dalam ekonomi secara luas, kedua zakat tersebut dapat menopang kebutuhan masyarakat yang wajib menerima zakat “mustahik” dimana zakat yang dikeluarkan oleh muzzaki dapat dipergunakan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan sehingga tidak terjadi kesenjangan antara orang yang mampu dengan tidak mampu, dan disitu merupakan fungsi zakat sebagai elemen untuk menegakan keadilan dan keejahteraan ekonomi.

            Kedua zakat tersebut harus diperhatikan dari segi penghimpunan hingga pendistribusian, sehingga tidak tercerabut dari esensi adanya zakat sebagai rukun islam dan juga menopang kesejahteraan masyarakat yang kurang mampu serta agar tidak terjadi kesenjangan sosial dimasyarakat.

 

B. RUMUSAN MASALAH

            Berdasarkan hasil penjelasan pada latar belakang masalah di atas, terdapat beberapa masalah yag perlu dikaji, sebagai berikut :

1. Bagaimana praktek pendistribusian zakat fitrah di masjid ?

2. Bagaimana praktik pendistribusian zakat fitrah di tinjau dari persektif imam safii.

C. TUJUAN PENULISAN

            Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini, sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui praktik pendistribusian zakat fitrah.

2. Untuk mengetahui pandangan Imam Syafi’I terhadap praktik pendistribusian zakat fitrah.

D. MANFAAT PENULISAN

            Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :

1.      Bagi peneliti : dapat memberikan pengetahuan atas perkembangan ilmu hukum baik hukum positif maupun hukum Islam serta menambah wawasan keilmuan dalam bidang pengkajian hukum khususnya hukum ekonomi Islam.

2.      Bagi pembaca : dapat menambah pengetahuan mengenai ilmu hukum khususnya hukum islam yang terkait dengan judul penelitian diatas sehingga dapat dijadikan sebagai bahan koreksi bagi penelitian selanjutnya.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A. KETENTUAN UMUM TENTANG ZAKAT

1.      PENGERTIAN ZAKAT

            Zakat secara etimologi adalah suci, bersih atau tumbuh. Sedangkat menurut terminologi syara‟ ialah mengeluarkan sejumlah harta tertentu untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syara‟.

            Zakat adalah salah satu ibadah pokok dan termasuk salah satu rukun Islam. Secara Bahasa, kata zakat berasal dari kata azzakat -zakkyy yang berarti suci, tumbuh, berkah dan terpuji . Sesuai kata yang digunakan dalam Al-Qur‟an yang memiliki arti suci dari dosa. Hal ini sebagai mana yang terdapat dalam firman Allah SWT :

                                                                                   

                                                                                                قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ

Artinya :” Sesungguhnya  beruntunglah orang-orang yang beriman”.

Sedangkan zakat menurut istilah adalah : الزكاة هي ما تقّدمه مالك لتطهره به Artinya“Zakat adalah sejumlah harta yang dikeluarkan pemiliknya untuk mensucikan dirinya” Menurut terminologi ilmu fiqh Islam, zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kekayaan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada mereka yang berhak menerimanya, dengan aturan-aturan atau syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu tersebut ialah nisab, haul dan kadar-kadarnya. Kemudian zakat menurut Yusuf al-Qardhawi, zakat yaitu Artinya“Zakat yaitu sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak”

 Sedangkan zakat menurut Imam Syafi‟I adalah wajib bagi orang beragama Islam, merdeka, wajib mengeluarkan zakatnya, pembantu dan kerabatnya yang dibutuhkan dari segala yang berlaku menurut kebiasaan. Dari berbagai definisi tentang zakat diatas, dapat disimpulkan bahwa zakat adalah nama untuk suatu kadar harta tertentu yang harus diserahkan kepada golongan tertentu, yang memiliki syarat-syarat tertentu dalam melaksanakannya.

Kewajiban Zakat dalam Islam sangatlah fundamental, sebab dalam zakat, selain merupakan bentuk ibadah yang memiliki aspek ketuhanan, zakat juga memiliki aspek keadilan ekonomi dan sosial apabila disalurkan secara benar. Karena orientasi zakat adalah untuk meminimalisir kesenjangan sosial antara orang kaya dengan orang miskin dan juga meningkatkan perekonomian.

2. Dasar Hukum Zakat

Dasar Hukum Zakat merupakan rukun Islam yang memiliki dimensi sosial-ekonomi yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan ekonomi pada masyarakat. Banyak ayat Al-Qur‟an dan hadist yang menjelaskan Hukum Zakat, diantaranya :

a. Al-Qur‟an Al-Qur‟an ada beberapa ayat yang menerangkan tentang diwajibkannya zakat bagi setiap Muslim, diantaraya dalam surat at-Taubah ayat 103 : Artinya :“Ambilah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman  jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS.at-Taubah:103). Ayat tersebut menjelaskan bahwa segala sesuatu yang berharga (kekayaan) yang dimiliki manusia dan memenuhi syarat dan rukun zakat, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Adanya syarat dan rukun tersebut, merupakan prinsip keadilan yang diajarkan oleh Islam dan prinsip keringanan yang terdapat di ajaran-ajaran-Nya tidak mungkin akan membebani orang-orang yang terkena kewajiban tersebut untuk melaksanakan sesuatu yang tidak mampu dilaksanakannya dan menjatuhkannya kedalam kesulitan yang tidak diinginkan oleh Tuhan.

b. Hadist Hadist secara istilah (syar‟i) merupakan sabda, perbuatan dan taqrir (ketetapan) yang diambil dari Rasulullah SAW. Hadist yang menerangkan zakat diantaranya yaitu :

Artinya:” Dari Ibnu Abbas r.a, bahwasanya Nabi SAW. mengutus Muadz ke Yaman-kemudian Ibnu Abbas menyebutkan hadist itu-dan dalam hadist tersebut Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat atas mereka dari harta-hartanya, diambil dari orang-orang kaya dan diserahkan kepada yang fakir-fakir dari mereka”. (HR. Muttafaq „alaih) Dengan dasar hukum diatas menunjukkan bahwa zakat merupakan ibadah sosial yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam dengan ketentuan-ketentuan tertentu yang telah tertulis dalam Al-Qur‟an dan hadist. Dengan adanya kewajiban zakat, menunjukan bahwa pemilikan harta bukanlah kepemilikan mutlak tanpa ada ikatan hukum, akan tetapi hak milik tersebut merupakan suatu tugas sosial yang wajib ditunaikan sesuai dengan kedudukan manusia sebagai hamba-Nya.

3. Macam-Macam Zakat

 Pada dasarnya zakat terbagi menjadi dua bagian :

a. Zakat Nafs (zakat jiwa)

Zakat Fitrah artinya zakat yang berfungsi untuk membersihkan jiwa setiap individu muslim yang diberikan pada hari terakhir bulan Ramadhan dengan batas sholat Idul Fitri. Zakat Fitrah merupakan zakat yang sebab diwajibkannya futhur (berbuka puasa) pada bulan Ramadhan, sehingga wajibnya zakat fitrah untuk mensucikan diri dan membersihkan perbuatannya. Zakat fitrah berbeda dengan zakat yang lainnya, karena ia merupakan pajak atas diri manusia. Sedangkan zakat yang lainnya merupakan pajak atas harta yang dimilikinya. Kemudian ini berdampak kepada syarat yang tidak sama antara zakat fitrah dengan zakat yang lainnya, seperti halnya nishab atau haul.

 b. Zakat Maal

Zakat Maal adalah zakat harta bendaa, artinya zakat yang memiliki fungsi untuk membersihkan, mensucikan harta benda yang dimiliki seorang muslim. Pada mulanya zakat difardhukan tanpa ditentukan kadarnya dan tanpa pula diterangkan dengan jelas harta-harta yang diberikan zakatnya. Syara‟ hanya menyuruh mengeluarkan zakat, mereka yang menerimanya pun pada masa itu dua golongan saja, yaitu faqir dan miskin. Adapun harta yang wajib dizakati adalah :

a) Emas dan Perak Emas dan perak merupakan logam mulia yang memiliki dua fungsi. Selain barang tambang juga sebagai perhiasan. Syariat Islam memandang emas dan perak sebagai harta yang potensial. Oleh karena, emas dan perak termasuk dalam kategori harta yang wajib zakat. Hal ini sebagaimana firman Allah : Artinya :“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah. Maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka mendapatkan siksa yang pedih”(QS. at-Taubah 34).

b) Binatang Ternak Orang Arab menyebutnya dengan “عاوَاال “yaitu unta, sapi atau kerbau, kambing dan biri-biri, dengan syarat digembalakan dan bertujuan untuk memperoleh susu, daging, dan hasil pengembangbiakannya. Ternak gembalaan yang dimaksud yaitu ternak yang memperoleh makanan di lapangan terbuka dan telah mencapai satu nishab.

c) Hasil Pertanian ( tanaman dan buah-buahan) Mengenai zakat pertanian Allah telah memerintahkan dalam Al-Qur‟an :

            Artinya :“…Makanlah buahnya apabila ia berbuah dan berikanlah haknya (zakatnya) pada                    waktu memetik hasilnya…” (QS. Al-An‟am:141)  Ayat tersebut menegaskan bahwa setiap hasil              panen ada hak (zakat) yang harus dikeluarkan pada saat panen.

        d) Harta Benda Dagangan Harta benda dagangan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang                       diperjual belikan dengan niat untuk memperoleh keuntungan. Jadi, apapun jenis barang bila                  diniatkan untuk diperdagangkan, maka barang tersebut dikategorikan sebagai barang dagangan.          Hal ini sesuai dengan firman Allah : Artinya:”Hai orang-orang yang beriman,                     keluarkanlah   sebagian yang baik dari penghasilanmu yang baik-baik…”(QS. Al- Baqarah: 267).

     e) Barang tambang yang dikeluarkan dari perut bumi Barang tambang yang dimaksud adalah segala         sesuatu yang dihasilkan dari perut bumi, sebagaimana dalam firman Allah : Artinya: ”…Dan dari         apa yang kami keluarkan dari bumi untukmu“ (QS.Al-Baqarah: 267) Ayat tersebut menjelaskan           bahwa manusia diwajibkan untuk mengeluarkan zakat dari hasil bumi. Mengingat dengan jenis               usaha yang semakin luas, baik yang berkaitan dengan jenis pertanian dengan pengelolaan agribisnis        lainnya, semua hasil usaha yang baik dan halal jika sudah terpenuhi nishab dan haul wajib dizakati.

B. Zakat Fitrah

1. Pengertian Zakat Fitrah

Zakat Fitrah dinamakan al-fitri yang mengacu kepada kata fitri yang artinya adalah makan. Dinamakan zakat fitri karena terkait dengan bentuk harta yang diberikan kepada mustahiqnya berupa makanan. Zakat Fitrah merupakan zakat yang berfungsi untuk membersihkan jiwa setiap individu muslim yang diberikan pada hari terakhir bulan Ramadhan dengan batas sholat Idul Fitri. Zakat Fitrah merupakan zakat yang sebab diwajibkannya futhur (berbuka puasa) pada bulan Ramadhan, sehingga wajibnya zakat fitrah untuk mensucikan diri dan membersihkan perbuatannya. Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa zakat firah adalah zakat yang berkaitan dengan makanan pokok karena yang diberikan berupa makanan pada hari raya idul fitri dengan tujuan untuk membersihkan dan mensucikan jiwa. Zakat Fitrah merupakan zakat yang berbeda dengan zakat-zakat yang lainnya, karena ia merupakan pajak-pajak pribadi manusia. Sedangkan zakat yang lainnya merupakan pajak atas benda atau harta. Maka dari itu, pada zakat fitrah tidak di syaratkan seperti apa yang di syaratkan pada zakat-zakat yang lain seperti adanya nishab.

 2. Dasar Hukum Zakat Fitrah

Zakat fitrah adalah salah satu bentuk zakat yang diwajibkan oleh Allah SWT baik itu laki-laki maupun perempuan, dari yang anak kecil hingga tua di perintah untuk mengeluarkan zakat fitrah. Adapun dalil pensyariatan zakat fitrah sebagai berikut :

a. Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah telah bersabda : Artinya : “ Rasulallah SAW mewajibkan zakat fitrah dari Bulan Ramadhan kepada seluruh manusia (kaum muslimin) yang merdeka, budak, laki-laki atau perempuan untuk satu orang satu sha‟ tamar atau satu sha‟ gandum, atas setiap orang yang merdeka, hamba, laki-laki dan perempuan orang islam.” (HR. Bukhori, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Al Mutawatta‟, Nasa‟i)

b. Dari Qais bin Sa‟d : Artinya :”Rasulullah SAW, memerintahkan kami utuk menunaikan zakat fitri sebelum diturunkannya (ayat) zakat, maka tatkala (ayat) zakat diturunkan, beliau tidak melarang dan tidak memerintahkan kami dan kami (tetap) melaksanakannya”. (Shahih: At- Ta‟liq ala Ibni Majah)

c. Dari Abu Said Al-Khudzri :  Artinya: “Kami mengeluarkan Zakat fitrah tatkala kami bersama Rasulullah S.A.W (sejumlah) satu sha‟ makanan, (atau) sha‟ kurma, satu sha‟ syair, satu sha‟ keju atau satu sha‟ zabib. Kami tetap melakukanya hingga muawiyah datang kepada kami di Madinah, dan dari apa yang ia katakan kepada orang-orang bodoh adalah „aku tidak menilai dua mud gandum Syam, melainkan ia menyamai satu sha‟ dari ini‟. Kemudian orangorang mengambil pendapatnya ini.” Abu Sa‟id berkata, “aku tetap menunaikan zakat seperti aku mengeluarkanya pada masa Rasulullah S.A.W selamanya, sepanjang aku hidup.”

Syarat-Syarat Wajib Zakat Fitrah Syarat-syarat wajib zakat fitrah adalah sebagai berikut :

a. Islam, menurut jumhur ulama, zakat diwajibkan atas orang Muslim dan tidak wajib atas orang kafir, karena zakat merupakan ibadah mahdhah yang suci. Harta yang mereka berikan tidak diterima oleh Allah S.W.T, sekalipun pemberian itu dikatakan sebagai zakat, Hal ini berdasarkan firman Allah S.W.T :

Artinya :” Dan yang menghalang-halangi infak mereka untuk diterima adalah merka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan” (QS. at-Taubah: 549)

b. Lahir sebelum terbenam matahari (menjumpai waktu tenggelamnya matahari) pada hari penghabisan bulan ramadhan atau sebelum masuk malam takbiran Idul Fitri.

 c. Mempunyai kelebihan harta dari keperluan makanan untuk dirinya sendiri dan untuk yang wajib dinafkahinya, baik manusia ataupun binatang, pada malam hari raya dan siang harinya. Orang yang tidak mempunyai lebihan tidak wajib membayar fitrah. Zakat fitrah ini hukumnya wajib bagi setiap manusia yang muslim, baik masih kanak-kanak maupun yang sudah dewasa baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga tidak ada alasan untuk meninggalkan zakat fitrah jika apa yang menjadi syarat terpenuhi dalam diri orang muslim. Untuk bayi, jumhur ulama menyepakati bahwa bayi yang masih dalam kandungan tidak diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrahnya. Karena dia masih calon seorang manusia, tapi belum dianggap sebagai manusia yang utuh. Sehingga kalau belum lahir pada waktu hari raya Idul Fitri, maka tidak perlu membayar zakat, namun apabila lahir sebelum hari raya Idul Fitri maka harus membayar zakat.

4. Waktu Pembayaran Zakat Fitrah

Adapun pembayaran zakat fitrah adalah ketika masih di bulan Ramadhan, karena zakat fitrah berkaitan dengan ibadah di bulan Ramadhan. Sehingga kewajiban zakat hanya dilakukan pada bulan Ramadhan, dan apabila dilaksanakan diluar bulan Ramadhan maka statusnya berubah menjadi tidak sah, seperti halnya Rasulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas menjelaskan Artinya: “Telah menceritakan/meriwayatkan padaku abdullah bin ahmad bin basyir bin dzakwan, dan ahmad bin azhar, mereka berkata telah menceeritakan padaku marwan bin muhammad berkata menceritakan padaku abu yazid al-khaulani, dari sayyar bin abddurohman as-shodafi, dari ikrimah dari ibnu abbas, berkata: Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan haram, serta makanan bagi orang-orang msikin, barangsiapa mengeluarkannya sebelum sholat idul fitri maka itu adalah zakat yang diterima, dan barangsiapa mengeluarkannyasetelah sholat idul fitri maka itu sedekah biasa”(HR. Ibnu Majah) Kata qobla al-shalah (sebelum sholat idul fitri) dalam hadist tersebut menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Diantaranya, Ibnu Hazm melarang mendahulukan membayar zakat fitrah sebelum terbenamnya matahari dimalam hari raya. Kemudian Imam Syafi‟i menyatakan bahwa boleh saja seseorang membayar zakat fitrah sejak awal bulan Ramadhan, sebab kwajiban zakat fitrah adalah sangat terkait dengan kewajiban ibadah puasa, sehingga membayar zakat fitrah meskipun pada awal bulan adalah sesuatu yang diperbolehkan.

 5. Bentuk dan Takaran Zakat Fitrah

Terjadi ikhtilaf terhadap bentuk dan takaran zakat fitrah, sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fitrah berupa gandum, jagung, kurma, anggur. Sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa zakat fitrah berupa makanan pokok yang lain di daerah setempat atau makanan pokok untuk orang-orang dewasa. Adanya perbedaan tersebut disebabkan oleh pemahamam mereka terhadap hadist Abu SA‟id Al Khudri, dia berkata : Artinya :” di masa Rasulullah SAW, kami mengeluarkan Zakat Fitrah satu sha‟ makanan, satu sha‟ gandum, satu sha‟ keju atau satu sha‟ kurma”. Ulama yang memahami hadist tersebut sebagai paparan pilihan berpendapat bahwa zakat fitrah boleh berupa salah satu jenis yang disebutkan itu. Ulama yang memahami hadist diatas menggambarkan makanan pokok berpendapat bahwa zakat fitrah berupa makanan pokok didaerahnya. Takaran zakat fitrah, para ulama telah sepakat bahwa zakat fitrah tidak boleh kurang dari satu sha‟, baik kurma atau gandum dan sebagainnya, berdasarkan hadist Ibnu Umar. Para ulama sepakat bahwa ukuran sha‟ (صاع (di masa Rasulullah SAW digunakan untuk mengukur banyak sedikitnya makanan secara jumlah atau volume. Dalam bahasa fiqh disebut dengan al-makil )انًكيم). Barang yang digunakan zakat fitrah adalah makanan pokok yang wajib ada pada tempat muzakki mengeluarkan Zakat Fitrahnya. Hal ini dikarenakan tujuan dari zakat ini tiada lain untuk mengenyangkan fakir miskin dan mustahiq-mustahiq lain pada malam dan siang hari raya tersebut. Imam Syafi‟i pun sepakat bahwa zakat fitrah ditunaikan sebesar satu sha‟ (di Indonesia, berat satu sha‟ dibekukan menjadi 2,5 Kg) kurma, gandum atau makanan lain yang menjadi makanan negeri yang bersangkutan. Seperti halnya di Indonesia yang menjadikan beras sebagai makanan pokok maka dalam mengeluarkan zakat fitrah pun menggunakan beras.

6. Sasaran Zakat Fitrah

Terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang golongan yang berhak menerima Zakat Fitrah. Ikhtilaf tersebut membuahkan dua pendapat : Pendapat pertama menyatakan golongan yang berhak menerima Zakat Fitrah ialah golongan yang juga berhak menerima Zakat tahunan. Dinisbatkan pendapatnya pada firman Allah surat At-Taubah ayat 60 : Artinya :” sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orangorang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagaimana suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Alasan pendpaat pertama, karena pada kata al-shodakoh dalam ayat itu bersifat umum, maka hal itu mencakup semua bentuk Zakat tak terkecuali zakat Fitrah. Ulama dari kalangan Syafi‟iyyah memegang pendapat ini.

Pendapat kedua menyatakan golongan yang berhak menerima Zakat Fitrah hanyalah orang fakir dan miskin, beberapa alasan kelompok ini adalah sebagai berikut Hadist diatas dengan jelas menyatakan bahwa Zakat Fitrah ditujukan kepada orang-orang miskin saja, bukan delapan golongan sebagaimana dalam Zakat Maal. Kemudian pendapat kelompok kedua menyatakan bahwa Zakat Fitrah termasuk jenis kaffarah (penebus kesalahan, dosa), sehingga wujudnya makanan kepada orang yang berhak, yaitu orang fakir dan orang miskin. Yusuf Qardawi menyebut ada beberapa ulama yang tergabung dalam kelompok kedua yang mengkhususkan distribusi Zakat Fitrah hanya kepada Fakir dan Miskin. Mereka adalah Muhammad Ibnu Rusyd, al-Qurthubi, ulama-ulama dari mazhab Maliki, Ahmad bin Hambal, Ibnu Taymiyah, Ibnu Qoyim al Jauziyah, Imam Hadi, Qashim dan Imam Abu Thalib.

Prioritas utama Zakat Fitrah adalah untuk orang miskin. Jika kesemua orang miskin sudah terpenuhi, maka bagi Zakat Fitrah yang terkumpul boleh diberikan kepada golongangolongan yang terdapat dalam Surat at-Taubah ayat 60. Mustahik zakat sudah diatur oleh Allah SWT dalam ayat tersebut, adapun penjelasan tentang mustahik sebagai berikut:

a. Fakir

Fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta ataupun usaha yang memadai, sehingga sebagian besar kebutuhannya tidak terpenuhi, meskipun ia memiliki pakaian dan tempat tinggal. Namun jika orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhannya dikarenakan kemalasannya bekerja padahla ia mempunyai tenaga, maka ia tidak termasuk kedalam golongan fakir.

b. Miskin

Miskin ialah orang yang memiliki harta atau usaha yang dapat menghasilkan sebagian kebutuhannya tetapi ia tidak dapat mencukupinya. Kebutuhan yang dimaksud ialah makanan, pakaian dan lain-lain menurut keadaan layak baginya. Meskipun antara fakir dan miskin hanya memiliki sedikit perbedaan akan tetapi dalam teknis operasionalnya sering disamakan, yaitu orang yang tidak memiliki penghasilan sama sekali atau memilikinya tetapi tidak mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya .

 c. Amil

Amil adalah orang yang melaksanakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan zakat, baik penarik, pencatat, bendahara, pembagi zakat. Allah SWT memberi bagian kepada orang yang mengurus zakat dari harta zakat. Amil dapat menerima bagian dari zakat hanya sebesar upah yang pantas untuk pekerjaannya .

d. Muallaf

Muallaf adalah orang yang diharapkan kecenderungan hatinya atau keyakinannya dapat bertambah terhadap Islam atau orang yang diharapkan akan ada manfaatnya dalam membela dan menolong kaum muslimin.

e. Riqab

Riqab adalah budak yang akan membebaskan diri dari tuannya, dalam pengertian ini tebursan yang diperlukan untuk membebaskan orang Islam yang ditawan oleh orangorang kafir. Maka untuk membebaskan harus menebusnya dengan sejumlah uang kepada tuannya, maka ia berhak mendapatkan pembagian zakat, hal ini merupakan salah satu cara di dalam Islam untuk menghapuskan perbudakan.

f. Gharim

Gharim adalah orang yang mempunyai hutang bertumpuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang kemudian tidak mampu untuk membayar hutangnya. Maka dengan zakat diharapkan dapat dipergunakan untuk melunasi sebagian atau seluruh hutangnya.

g. Fii Sabilillah

Fii Sabilillah yang dimaksudkan dalam ayat tersebut ialah wujuh al khayr (jalan kebajikan), seperti halnya membangun masjid, sekolah dan lain sebagainya. Dalam pengertian yang lebih luas fii sabilillah juga diartikan dengan berdakwah, berusha menegakan hukum silam dan membendung arus pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam . h. Ibn as-Sabil

Ibn as-Sabil adalah orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan dan tidak dapat mendatangkan uang dari rumahnya. Orang tersebut diberi zakat sekedar untuk sampai pada tujuannya. Ibn as-Sabil dapat memperoleh zakat apabila benar-benar membutuhkan uang zakat, artinya tidak mempunyai atau kekurangan biaya untuk kembali ke daerahnya, dan tidak sedang dalam perjalanan maksiat dan tidak mendapatkan orang memberi pinjaman pada saat meneruskannya .

C. Pendistribusian Zakat Fitrah Menurut Imam Syafi’i

1. Biografi Imam Syafi‟i

Imam Syafi‟i adalah imam yang ketiga menurut tarikh kelahiran. Beliau adalah pendukung terhadap ilmu hadist dan pembaharu dalam agama (Mujaddid) dalam abad kedua hijriyah.

 

a. Tahun dan Tempat Kelahiran Imam Syafi‟i

Imam Syafi‟i dilahirkan pada bulan Rajab tahun 150 Hijriyah (767 Masehi). Imam Syafi‟i dilahirkan di kampung Ghuzah, wilayah Asqalan yang letaknya di dekat pantai lautan putih (laut mati) sebelah tengah Palestina (Syam).

b. Silsilah Imam Syafi‟i

Nama Imam Syafi‟I dari mulai kecil adalah Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi‟i. Silsilah orang yang menurukan Imam Syafi‟I dari jalur ayahnya ialah bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi‟i bin Said bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf. Adapun silsilah dari Ibunya, ialah binti Fatimah binti Abdullah bin Al-Hasan bin Husau bin Ali bin Abi Thalib (Paman Nabi Muhammad SAW). Selanjutnya setelah ijtihad dan buah penyelidikan beliau tentang soal-soal hukum keagamaan diakui dan diikuti kebenarannya oleh sebagian besar kaum muslimin pada masa itu, dikenal pula dengan sebutan “Madzhab Imam Syafi‟i.

c. Pendidikan Imam Syafi‟i

Imam Syafi‟i berasal dari keturunan bangsawan yang paling tinggi di masanya. Walaupun hidup dalam keadaan sangat sederhana, namun kedudukannya sebagai putra bangsawan, menyebbakan ia terpelihara dari perangai-perangai buruk, tidak mau merendahkan diri dan berjiwa besar. Ia bergaul rapat dalam masyarakat dan merasakan penderitaan-penderitaan mereka. Meski dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam suatu keluuarga yang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri apalagi malas. Sebaliknya, beliau bahkan giat mempelajari Hadist dari ulama-ulama di Makkah. Pada usianya yang masih kecil baliau telah hafal Al-Qur‟an. Kemudian beliau dengan tekad yang bulat pergi dari kota Makkah menuju suatu dusun bangsa Badwy Banu Hudzail untuk memperlajari bahasa Arab asli dan fasih, selain itu mempelajari kesusastraan serta syi‟ir-syi‟irnya kepada pemuka orang dusun itu. Beliau di kota Makkah belajar ilmu fiqih kepada Imam Muslim bin Khalid Az-Zanniy, seorang guru besar dan mufti di kota Makkah pada masa itu. Agak lama beliau belajar kepada guru itu, sehingga mendapat ijazah dan diberi hak boleh mengajar dan memberi fatwa tentang hukum yang bersangkut paut dengan keagamaan. Tentang ilmu hadist beliau belajar kepada Imam Sufyan bin Uyainah, seorang alim besar ahli Hadist di kota Makkkah dimasa itu. Dan tentang ilmu Al-Qur‟an, beliau belajar kepada Imam Isma‟il bin Qasthauthin, seorang alim besar ahli Qur‟an di kota Makkah di masa itu. Selanjutnya kepada para ulama lainnya lagi di Masjid Al-Harun, beliau belajar berbagai ilmu pengetahuan, sehingga ketika baru berusiaa 15 tahun, beliau telah menduduki kursi Mufty di Kota Makkah . Setelah Imam Syafi‟i berada di kota Madinah, maka beliau belajar kepada Imam Maliki, dan setiap hari beliau dating kerumah Imam Maliki untuk belajar dan membacakan kitab Al-Muwaththa‟ dihadapannya, dan karena Imam Syafi‟i sebelumnnya sudah hafal kitab tersebut, maka dalam sebentar saja selesailah kitab Al-Muwaththa‟ itu dibacakan di depan gurunya. akhirnya Imam Syafi‟i diminta oleh gurunya agar beliau bertempat tinggal serumah dengan Imam Maliky, dan selama delapan bulan beliau tinggal serumah dengan gurunya dan jika Imam Maliki telah membacakan Al-Muwaththa‟ kepada banyak orang, maka diserahkanlah kepada Imam Syafi‟i untuk mendekatkan kepada mereka, dan mereka menuliskannya sehingga Imam Syafi‟i memperoleh kesempatan untuk memperlancar pelajarannya. Dan dengan demikian maka orang banyak mengenal kepandaian Imam Syaf‟i. Imam Syafi‟i mengadakan mudarasah dengan Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan Malik. Di waktu Malik meninggal tahun 179 H, Imam Syafi‟i telah mencapai usia dewasa dan matang. Ketika Imam Syafi‟i di Iraq, beliau bertemu dengan Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, selama di Iraq beliau tetap bertempat tinggal di rumah Imam Muhammad bin Hasan sebagai tamu agung. Dan selama di Iraq, bertambahlah ilmu pengetahuan fiqih ahli Iraq. Beliaupun dapat pula menambah pengetahuan tentang caracara Qadhy (Hakim) memerika perkara dan memutuskan urusan. Beliau tinggal di Iraq hamper dua tahun lamanya. Diantara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam Syafi‟i adalah tentang metode pemahaman Al-Qur‟an dan Sunnah atau metode Istinbath (ushul Fiqh). Meskipun para imam Mujtahid sebelumnya dalam berijtihad terikat dengan kaidah-kaidahnya, namun belum ada kaidahkaidah yang tersusun dalam sebuah buku sebagai satu disiplin ilmu yang dapat dijadikan pedoman oleh para peminat hukum Islam. Dalam kondisi demikianlah Imam Syaf‟i tampil berperan menyusun sebuah buku ushul fiqh. Idenya ini didukung pula dengan adanya permintaan dari seorang ahli hadist bernama Abdurrahman bin Mahdi di Baghdad agar Imam Syafi‟I menyusun metodologi istinbath.

2. Pendistribusian Zakat Fitrah Menurut Imam Syafi‟i

Pada dasarnya proses pendistribusian zakat yang dianjurkan Imam Syafi‟i adalah memberikan setiap golongan asnaf zakat sama bagian, tidak melebihkan satu dengan yang lainnya, dijelaskan dalam Kitab Al-Umm :

Artinya” Adalah harta delapan ribu dirham, maka bagi masingmasing jenis adalah seribu dirham. Tidak akan dikeluarkan dari suatu jenis dari mereka akan sesuatu dari seribu itu dan pada mereka masih ada lagi seseorang yang berhak menerimannya. Maka kita hitung orang-orang fakir, lalu kita dapati mereka tiga orang. Orang-orang miskin, lalu kita dapati mereka seratus orang. Dan orang-orang yang berhutang, lalu kita dapati mereka sepuluh orang. Kemudian kita bedabedakan diantara orang-orang fakir. Lalu kita dapati mereka, bahwa seorang dari mereka akan keluar dari kefakiran dengan diberikan tiga ratus dirham. Yang lain akan keluar dari kefakiran dengan diberikan tiga ratus dirham. Dan yang lain akan keluar dari kefakiran dengan diberikan enam ratus dirham. Maka kita berikankepada masing-masing yang akan mengeluarkan mereka dari fakir kepada kaya. Kita beda-bedakan diantara orang-orang miskin begitu juga. Maka kita dapati seribu dirham. seratus dirham akan mengeluarkannya dari miskin kepada kaya. Maka kita berikan yang demikian kepada mereka menurut kadar kemiskinannya. Sebagaimana yang saya terangan tentang orang-orang fakir. Tidak atas dasar bilangan. Tiada waktu pada yang diberikan kepada orang-orang fakir dan orang-orang miskin, sampai kepada yang menjadikan mereka, sehingga mereka itu menjadi orang yang dinamakan kaya. Tidak kaya setahun dan tidak untuk suatu waktu”. Keterangan lain terhadap pendistribusian zakat fitrah yang ada dalam kitab Al-Umm sebagai berikut: menjelaskan bahwa inti dari distribusi bagian zakat adalah berdasarkan dari kepantasan masing-masnig individu, bukan dibagi sesuai dengan jumlah mereka. Petugas zakat tidak boleh memberi satu bagian kepada setiap golongan meskipun dia tidak mengetahui kebutuhan mereka. Untuk menyempurnakan bagian mereka, dia tidak dilarang untuk mengambil dari bagian kelompok lain manakala ada kelebihan dari bagian kelompok lain. Karena Allah memberi setiap golongan itu berdasarkan dua pertimbangan. Dapat diterima akal bahwa jika orang-orang fakir, orang-orang miskin dan orang-orang yang berhutang diberi zakat hingga mereka keluar dari status fakir dan miskin menjadi kaya, sebagaimana orang-orang yang kaya sejak awal tidak memiliki hak apapun bersama mereka. Hal yang mengeluarkan mereka dari status fakir, miskin dan berhutang itu juga mengeluarkan mereka dari makna nama sebutan mereka. Demikian pula dengan budak mukatab. Ibnu sabil pun demikian. Orang yang berperang diberi sesuai kebutuhan mereka, yaitu biaya perjalanan dan pertempuran. Demikian pula amil zakat. Mereka tidak keluar dari sebutan ibnu sabil, orang yang berperang dan amil selama mereka dalam perjalanan, dalam pertempuran, dan mengelola zakat. Jadi, mereka tidak diberi bagian zakat kecuali berdasarkan makna dari sebutan mereka, bukan dengan sebutan mereka. Demikian pula dengan mualaf. Sebutan ini tidak lepas dari mereka.

Pendistribusian zakat menurut Imam Syafi‟i78 dari ke 8 golongan yang wajib menerima zakat yang lebih diutamakan adalah Fakir, Miskin dan orang yang berhutang. Apabila dari ketiga golongan tersebut sudah terpenuhi sesuai dengan kebutuhannya dan masih ada kelebihan maka kelebihan tersebut dibagikan kepada golongan lainnya yang terdapat dalam lingkungan permukiman tersebut. Jika dari golongan penerima selanjutnya sudah mendapatkan zakat sesuai kebutuhan tetapi zakat masih ada kelebihan maka kelebihan itu dibagi kembali dengan jumlah pokok 1/8 (seperdelapan).

Pada pendistribusian zakat ada kelonggaran satu bagian dan ketidakcukupan bagian yang lain ini dimaksudkan apabila pada pembagian zakat terdapat Fakir, Miskin dan orang yang berhutang diberikan bagiannya sesuai dengan batas kebutuhan hingga golongan tersebut sudah tidak membutuhkan lagi. Namun jika golongan orang yang berhutang meminta dilebihkan atas bagian zakat mereka maka itu tidak diperbolehkan bagi mereka. Karena masing-masing dari mereka diberikan bagiannya sampai mereka tidak menbutuhkannya. Apabila salah satu golongan tidak membutuhkan lagi maka sisanya dikembalikan kepada golongan-golongan lain bersamanya. Apabila hutang orang-orang yang berhutang itu berbeda beda, dimana jumlah mereka 10 sedangangkan mereka menginginkan pembagian zakat mereka dibagi rata maka hal itu tidak boleh dilakukan. Apabila jumlah hutang-hutang mereka mencapai 12 ribu sedangkan bagian atas mereka hanya berjumlah satu ribu maka pembagian zakatnya adalah 1/10 (sepersepuluh) dari hutangnya, seberapapun jumlahnya. Sehingga apabila salah satu orang dari mereka jumlah hutangnya mencapai seratus maka dia diberikan sepuluh dan apabila hutang salah satu dari mereka mencapai seribu maka diberikan kepadanya seratus dan seterusnya. Dengan demikian, mereka diperlakukan sama berdasarkan jumlah hutang mereka bukan berdasarkan jumlah mereka dan bagian mereka tidak ditambah.

 

 

 

 


KESIMPULAN

Kesimpulan Dari uraian-uraian di atas tentang Pendistribusian Zakat fitrah menurut Imam Syafi’i. Maka dari itu penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1.      pendistribusian zakat fitrah dengan cara sebagai berikut: setelah batas waktu pembayaran zakat oleh masyarakat, amil zakat menghitung jumlah zakat fitrah yang sudah terkumpul, kemudian dibagi berdasarkan jumlah asnaf yang ada di sekitar, yakni asnaf fakir, miskin, amil dan fisabilillah. Kemudian dibagi berdasarkan jumlah orang yang ada pada asnaf tersebut hingga tidak tersisa.

2.      Ditinjau dari pendapat Imam Syafi’i, pendistribusian zakat fitrah yang dilakukan di Masjid At-Taqwa Bulakelor dengan sistem penyamaratan pembagian zakat kepada para asnaf zakat sudah sesuai karena istinbath hukum yang dilakukan panitia mengacu pada surat at-Taubah ayat 60 tentang asnaf zakat. Begitupun Imam Syafi’i menisbatkan bahwa kepemilikan semua zakat oleh kelompok-kelompok dalam surat at-Taubah ayat 60 dinyatakan dengan pemakaian huruf lam yang dipakai untuk menyatakan kepemilikan, kemudian masing-masing kelompok memiliki hak yang sama karena dihubungkan dengan 95 wawu (salah satu kata sandang yang berarti “dan”) yang menunjukan kesamaan tindakan. Namun belum sempurna karena Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa pendistribusian zakat fitrah harus disesuaikan dengan kebutuhan masingmasing individu, bukan berdasarkan jumlah mereka (mustahik).

 

 

 

 



 

Comments

Popular posts from this blog

Islam dan politik etis masa kolonial

Kamu punya hati ?