pengertian leasing
I. Pendahuluan
Leasing sebagai suatu lembaga pembiayaan dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan yang masih sangat muda atau baru dilaksanakan di Indonesia pada awal tahun 1970-an dan baru diatur untuk pertama kali dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia sejak tahun 1974. Eksistensi prananta hukum leasing di Indonesia sendiri suda h ada beberapa perusahaan leasing yang statusnya sama sebagai suatu lembaga keungan non bank. Oleh karena itu, maka yang dimaksudkan dengan leasing adalah setiap kegiatan pembiyaan perusahaa dalam bentuk penyediaan atau menyewakan barang-barang modal untuk digunakan oleh perusahaan lain dalam jangka waktu tertentu:
Leasing merupakan suatu equipment funding, yaitu suatu kegiatan pembiayaan dalam bentukkperalatan atau barang modal pada perusahaan untuk digunakankdalam proses produksi. Lessorsebagai pemilik barang yang di-lease adalah pihakhyang paling berkepentinganajika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lessee, karena tidak selamanya pengambilan objek leasingdan pelaksanaan hak-haknya akibat wanprestasiipihak lesseedapat dilaksanakanmdengan lancar dan secara damai, selain itu lessorrbelum tentugdapat yakin bahwa objek leasing yang bersangkutan bebas dari berbagai ikatan. Sehingga, perlindungan hukum bagi lessor perlu mendapat perhatian lebih.
Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta : Salemba Empat, 2006), hal.190.
A. Permasalahan Hukum :
II. Pembahasan
A. Pengertian
Leasing adalah suatu bangunan hukum yang tidak lain merupakan improvisasi dari pranata hukum konvensional yang disebut dengan sewa menyewa (lease). Dikatakan konvensional karena ternyata sewa menyewa itu merupakan bangunan tua dan suda h lama sekali ada dalam sejarah peradaban umat manusia. Pranata hukum sewa menyewa yang dikembangkan sebagai ilmu pengetahuan telah terekam dalam sejarah, paling tidak sudah sejak lebih kurang 4500 tahun sebelum masehi, yakni sewa menyewa yang dipraktekkan dan dikembangkan oleh orang-orang Sumeria. (Munir Fuady, Op. Cit. hal. 12. )
Kata leasing berasal dari bahasa Inggris yaitu kata lease yang berarti menyewakan. Leasing sebagai suatu lembaga pembiayaan dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan yang masih sangat muda atau baru dilaksanakan di Indonesia pada awal tahun 1970-an dan baru diatur untuk pertama kali dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia sejak tahun 1974. Eksistensi prananta hukum leasing di Indonesia sendiri suda h ada beberapa perusahaan leasing yang statusnya sama sebagai suatu lembaga keungan non bank. Oleh karena itu, maka yang dimaksudkan dengan leasing adalah setiap kegiatan pembiyaan perusahaa dalam bentuk penyediaan atau menyewakan barang-barang modal untuk digunakan oleh perusahaan lain dalam jangka waktu tertentu dengan kriteria sebagai berikut : Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta : Salemba Empat, 2006), hal.190.
• pembiyaan perusahaan
• pembayaran sewa dilakukan secara berkala
• penyediaan barang-barang modal
• disertai dengan hak pilih atau hak opsi
• adanya nilai sisa yang disepakati.
B. UU Yang mengatur Hukum Leasing
Sebagai mana yang diketahui kegiatan Leasing di atur dalam Peraturan Presiden No. 09 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan yang berbunyi :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal;
2. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen, dan/atau usaha Kartu Kredit;
3. Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu Perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (investee Company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha;
4. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur adalah badan usaha yang didirikan khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek infrastruktur;
5. Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran;
6. Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu Perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut;
7. Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran;
8. Usaha Kartu Kredit (Credit Card) adalah kegiatan pembiayaan untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu kredit;
9. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah surat pernyataan kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau kepada penggantinya;
10. Menteri adalah Menteri Keuangan.
BAB II
JENIS, KEGIATAN USAHA, DAN PENDIRIAN LEMBAGA PEMBIAYAAN
Pasal 2
Lembaga Pembiayaan meliputi:
a) Perusahaan Pembiayaan;
b) Perusahaan Modal Ventura; dan
c) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur.
Pasal 3
Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi:
a) Sewa Guna Usaha;
b) Anjak Piutang;
c) Usaha Kartu Kredit; dan/atau
d) Pembiayaan Konsumen.
C. Lahirnya Leasing
Leasing adalah suatu bangunan hukum yang tidak lain merupakan improvisasi dari pranata hukum konvensional yang disebut 'sewa menyewa' (lease). Dikatakan konvensional, karena sewa menyewa merupakan bangunan tua dan sudah lama sekali ada dalam sejarah peradaban umat manusia. Pranata hukum sewa menyewa sudah ada sejak 4.500 tahun sebelum Masehi, yaitu sewa menyewa yang dipraktekkan dan dikembangkan oleh orang-orang bangsa Sumeria.
Leasing dalam arti modern pertama kali berkembang di Amerika, kemudian menyebar ke Eropa bahkan ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di Amerika, leasing dalam arti modern ini pertama kali dikenalkan, yaitu leasing yang berobyekkan kereta api.
Perkembangan perusahaan leasing di Amerika :
Tahun 1850, tercatat adanya perusahaan leasing yang pertama di Amerika yang beroperasi di bidang leasing kereta api.
Tahun 1877, The Bell Telephone Company memperkenalkan leasing di bidang pelayanan telepon kepada para pelanggannya.
Tahun 1980-an, bank-bank dan perusahaan-perusahaan leasing tumbuh subur sebagai lessor. Misalnya, perusahaan GATX merupakan lessor terbesar untuk leasing railcars, IBM merupakan lessor terbesar untuk leasing komputer, dan Xerox merupakan lessor terbesar untuk leasing mesin fotocopy.
Perkembangan pranata hukum leasing di Amerika terjadi dengan cukup pesat, Selama dasawarsa 1980-an, volume leasing bertambah rata-rata 15 % tiap tahunnya. Menjelang dasawarsa 1980-an tersebut, lebih kurang sepertiga dari pengadaan peralatan bisnis baru di Amerika dilakukan dalam bentuk leasing. Eksistensi pranata hukum leasing di Indonesia baru terjadi di awal tahun 1970-an, dan baru diatur untuk pertama kalinya dalam perundang-undangan Republik Indonesia di tahun 1974. Beberapa peraturan di tahun 1974 tersebut merupakan tonggak sejarah perkembangan hukum tentang leasing di Indonesia. Peraturan-peraturan tentang leasing tersebut adalah :
Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : KEP-122/MK/IV/2/1974, Nomor : 32/M/SK/2/1974, Nomor : 30/Kpb/I/1974, tertanggal 7 Pebruari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing.
Surat Keputusan Menteri Keuangan republikIndonesia Nomor : KEP.649/MK/IV/5/1974, tanggal 6 Mei 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing.
Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : Kep.650/MK/IV/5/1974, tangga; 6 Mei 1974 tentang Penegasan Ketentuan Pajak Penjualan dan Besarnya Bea Materai terhadap Usaha Leasing.
Pengumuman Direktur Jenderal Moneter Nomor : Peng-307/DJM/III.1/7/1974, tanggal 8 Juli 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Leasing.
Setelah berbagai aturan yang dikeluarkan di tahun 1974, ada beberapa peraturan lagi yang terbit di tahun-tahun kemudiannya. Dan perkembangan sejarah bisnis leasing di Indonesia sangat terkait erat dengan policy pemerintah yang tertuang dalam peraturan-peraturan tersebut.
D. Contoh hukum pelanggaran Leasing
Nasib pria bernama Andhi Saputra Istiarga itu tertuang dalam putusan kasasi No.140 KIPid/2012. Pria yang bermukim di Asrama Merpati Magelang, Jawa Tengah ini bekerja sebagai debt collector PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk cabang Magelang.
Lalu, pada satu hari, tepatnya 11 Februari 2011, seperti biasa dia berkeliling kota Magelang untuk menunaikan tugas dari perusahaan dia bekerja. Tugasnya mudah, mencari unit-unit kendaraan yang anggsurannya terlambat disetor pada Adira.
Maka sampailah Andhi dan rekannya, Wahyu Adi Saputro di LPK NI Magelang sekira 11.00 WIB. Didapati oleh keduanya sepeda motor nomor polisi AA-2521-YK. Kendaraan dengan nomor polisi itu tercatat dalam daftar Adira yang terlambat mengangsur.
Langsung saja, motor yang ditumpangi keduanya berbelok ke tempat dimana motor ‘buruan’ mereka parkir. Kemudian Andhi menelpon Suryadi AS, dan mengatakan menemukan motor yang ada dalam daftar penunggak cicilan di tempat dia bekerja.
Motor itu tercatat atas nama Puji Sumarah. Sudah 98 hari terlambat membayar angsuran. Karena itu tak ada perintah lain dari Suryadi pada Andhi selain menyuruh keduanya menarik motor itu. Suryadi pun memerintahkan Andhi mengambil surat kuasa penarikan (SKP) di Adira. Kemudian surat itu diambil Wahyu dari Adira setempat.
Wahyu kembali ke LPK NI sekira 12.30 WIB tiba di tempat tujuan. Bersama Andhi, mereka menemui Lisyaningsih dan menanyakan kepemilikan motor dan dijawab kepunyaan Puji Sumarah yang dititipkan di LPK NI.
Terjadi perdebatan. Intinya karena Puji terlambat mengangsur, berbekal SKP motor harus ditarik. Lisyaningsih menanyakan sertifikat fidusia. Andhi, setelah mendapat penjelasan dari Suryadi via telepon menyatakan sertifikat fidusia ada di kantor. Kedua debt collector ini merasa punya alas hak, dan tanpa seizin Lisyaningsih maupun Puji Sumarah, motor dituntun ke Adira.
Tentu saja tindakan ini membuat berang Puji Sumarah dan Lisyaningsih. Kemudian melaporkan tindakan Andhi dan Wahyu serta Suryadi ke polisi. Mereka menyatakan perbuatan dua debt collector itu melawan hukum.
Yaitu, tanpa sertifikat fidusia, motor yang ditarik ke Adira belum menjadi objek jaminan fidusia. Terlebih lagi, penarikan motor dilakukan Andhi dan Wahyu tanpa seizin pemiliknya maupun Lisyaningsih sebagai orang yang dititipi motor oleh Puji sehingga menderita kerugian Rp10 juta.
Oleh penuntut umum, saat perkara ini mulai disidangkan, perbuatan Wahyu dan Andhi didakwa melanggar aturan Pasal 363 ayat (1) keempat KUHP.
Namun, majelis Pengadilan Negeri Mungkid melepaskan kedua terdakwa. Putusan diucapkan majelis hakim pada 11 November 2011 menyatakan Andhi dan Wahyu sebagai terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan. “Namun, itu bukan merupakan tindak pidana,” demikian majelis hakim dalam putusan itu.
Penuntut umum langsung mengajukan kasasi. Tapi majelis kasasi menolak permohonan kasasi penunut umum, pada 20 Maret 2012.
Majelis menilai, memang benar antara Puji Sumarah dengan Adira melakukan perjanjian pembiayaan sepeda motor dengan pola penyerahan hak milik secara fidusia. Perjanjian pembiayaan terjadi 15 April 2010. Perjanjian pembiayaan sebesar Rp11,196 juta dengan bunga 28,15 persen. Total angsuran Puji pada Adira menjadi Rp464 ribu selama 36 bulan.
Sebagai jaminan kewajiban angsuran, Puji menyerahkan hak milik secara fidusia pada Adira. Serta memberikan kuasa pada Adira untuk pengurusan jaminan secara fidusia. Namun, Adira tak segera mengurus, sehingga akta fidusia baru dibuat 10 Maret 2011 dan fidusia baru didaftarkan 1 April 2011.
Menurut majelis kasasi yang dipimpin Zaharuddin Utama, majelis hakim tingkat pertama menerapkan hukum tidak sebagaimana semestinya. Yaitu, Andhi dan Wahyu telah nyata mencuri motor Puji. Karena, saat diambil, objek pencuria belum terikat jaminan fidusia.
Motor dibawa Andhi dan Wahyu atas persetujuan Suryadi pada 11 Februari 2011. Sedangkan jaminan fidusia baru didaftarkan setelah Puji melaporkan ke Polisi lalu dilanjutkan penyidikan, yaitu 1 April 2011.
Berdasarkan Pasal 11, 12, dan 13 UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, majelis menyatakan saat terdakwa melakukan perbuatannya, belum ada perikatan fidusia. Sehingga motor milik Puji bukan objek jaminan fidusia. Alias tidak ada jaminan fidusia.
Bila majelis hakim tingkat pertama menerapkan ketentuan UU Jaminan Fidusia, majelis kasasi yakin terdakwa melakukan perbuatan pidana seperti didakwakan. Tapi, yang didakwakan adalah pencurian.
UU Jaminan Fidusia mengatur eksekusi objek jaminan, yaitu Pasal 29. Tanpa mempertimbangkan pasal ini, majelis kasasi menilai majelis pengadilan tingkat pertama salah menerapkan hukum. Yaitu membenarkan kedua terdakwa mengambil sepeda motor karena hanya berpatokan pada Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia.
Menurut majelis kasasi, bila debitor cedera janji, penerima fidusia (Adira) berhak menjual objek jaminan fidusia. Karena itu majelis PN Mungkid dinilai abaikan ketentuan Pasal 30 dalam UU Jaminan Fidusia. Yaitu pemberi fidusia saat eksekusi wajib menyerahkan objek jaminan fidusia. Tapi, kedua terdakwa saat eksekusi tak menemui Puji selaku pemberi fidusia. Bahkan, jaminan fidusia belum ada.
Namun, karena ada keterlambatan angsuran, majelis kasasi menilai itu adalah hubungan keperdataan berdasarkan perjanjian antara Puji dengan Adira. Sehingga tidak ada sifat melawan hukum yang dilakukandebt collector yang melaksanakan perintah Suryadi. Karena itu, persoalan kedua pihak adalah kewenangan hakim perdata untuk memeriksa dan mengadili.
Comments
Post a Comment